Tapaktuan – Anggota DPRA Dapil IX (Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya), Hadi Surya, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menghentikan polemik. Ya, polemik terkait status empat pulau (Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek) yang secara resmi telah dikembalikan ke dalam wilayah administratif Aceh oleh Pemerintah Pusat.
“Saya mengajak semua pihak untuk menghentikan narasi saling menyalahkan dan perdebatan tentang peran masing-masing. Saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas kebijakan pengembalian empat pulau tersebut ke Aceh,” ujar Hadi Surya pada Sabtu (21/06/2025).
Lebih lanjut, jelas Hadi, ini adalah langkah bijak yang menunjukkan keberpihakan Pemerintah kepada keadilan administratif dan fakta sejarah. “Kini, kita menantikan diterbitkannya perubahan resmi terhadap keputusan sebelumnya,” katanya. Menurutnya, keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta dan doa seluruh masyarakat Aceh, baik yang berada di daerah maupun diaspora.
Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun pihak yang patut dipersalahkan secara personal atas peristiwa masa lalu. “Kita harus menatap ke depan. Persoalan ini tidak akan selesai tanpa semangat kebersamaan. Ini bukan kemenangan satu lembaga, tetapi hasil dari energi kolektif masyarakat Aceh dan dukungan moral dari seluruh rakyat Indonesia,” lanjutnya.
Hadi juga menyampaikan apresiasi terhadap Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang dinilai mampu menghadapi isu ini dengan ketenangan dan kewibawaan. Pendekatan diplomasi yang dijalankan secara tenang namun efektif, menurutnya, membuahkan hasil yang konkret. “Gaya komunikasi dan diplomasi yang ditempuh oleh Gubernur Aceh patut dihargai.
Kita juga menyampaikan terima kasih kepada Presiden Republik Indonesia atas perhatian langsung beliau terhadap penyelesaian persoalan ini. Ini adalah kemenangan kolektif untuk menjaga marwah Aceh dalam bingkai NKRI,” ucapnya. Dalam kesempatan yang sama, Hadi menekankan pentingnya pembenahan sistem pengarsipan dokumen strategis pemerintah.
Menurutnya, ketidaktersediaan dokumen asli perjanjian batas wilayah tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara menjadi salah satu penyebab sengketa administratif tersebut.
“Sebagai pelajaran penting, kita harus membenahi tata kelola dokumen strategis. Dari yang saya pelajari, polemik ini berakar dari ketidakmampuan pihak terkait menunjukkan dokumen asli perjanjian tersebut.
Bahkan dalam berbagai forum resmi, yang ditampilkan hanya fotokopi, sementara dokumen asli tidak pernah benar-benar disampaikan,” jelas Hadi.[Adv]
Editor: Redaksi